Kamis, 06 Mei 2010

"eksistensi diri"

AIN NURWINDASARI
"eksistensi diri"

Disadari atau tidak, manusia mempunyai kebutuhan yang namanya Eksistansi Diri. Manusia ingin dikenal, dihargai, direspon dan mendapat hal-hal lain yang menunjukkan eksistensinya. Sering kali hal-hal tersebut memang memotivasi mereka melakukan sesuatu. Hal-hal yang apresiatif membuat mereka telah menghasilkan karya-karya dari yang terkecil hingga yang besar. Secara umum, demikianlah tabiat manusia.
Yang membedakan adalah dari mana bentuk apresiasi atau pengakuan itu diharapkan. Sehingga mempengaruhi prestasi mereka. Dari Allah ataukah dari mahluk Allah yang lain? Perbedaan yang menunjukkan keikhlasan seseorang hanya dilihat dari sini. Jika yang dimaksud adalah perhatian yang diharapkan seseorang ketika beramal adalah dari Allah semata maka ia sedang berlaku ikhlas, murni 100%. Namun jika ada sedikit atau pun banyak pengharapan yang ditujukan kepada selain Allah atas amal ibadahnya maka tercampurlah keikhlasan orang tersebut dengan yang namanya riya’ ayau sum’ah. Kita tahu bahwa keduanya adalah sudah termasuk syirik.
Pada umumnya manusia selalu berguml dengan ketidakikhlasan. Tinggal memperkirakan kadar riya’ atau sum’ahnya saja, apakah besar atau kecil. Karena memposisikan diri melakukan perbuatan dengan benar-benar ikhlas semata-mata karena Allah diakui sangatlah sulit oleh sebagian besar dari kita. Bukan begitu? Sebagaimana kita tahu bahwa syetan selalu membidik hati kita dari berbagai arah untuk tidak membiarkan kita beramal denagn semangat dan ikhlas semata-mata mengharap pahala Allah dan tidak kan menemani mereka di neraka nanti.
Dalam masalah riya’ Ibnu Rojab mengatakan dala kitab Taysir Al ‘Alam Bahwa amal yang ditujukan kepada selain Allah ‘lighairillah’ itu terbagi atas baberapa bagian:
Pertama, ada kalanya amal tersebut adalah riya’ secara murni, tidak dimaksudkan kecuali untuk mendapat perhatian para mahluk Allah, dan untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Amal seperti ini hamper tidak muncul dari diri seorang mukmin. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya amal tersebut aka sia-sia dan pelakunya akan mendapat kebencian dan hukuman dari Allah.
Kedua, ada kalanya amal tersebut bercampur denagn riya’. Jika amal tersebut bercampur sejak awal, maka nash-nash yang shahih menunjukkan kesia-siaan amal tersebut. Artinya, amal tersebut tidak diterima oleh Allah.
Ketiga, ada kalanya amal tersebut diawali dengan niat karena Allah namun muncul juga unsur riya’dalam hati kemudian pelakunya berusaha mencegahnya, berusaha memperbaiki niat secara terus-menerus agar senantiasa ikhlas karena Allah, maka dalam masalah ini para ulama’ tidak berbada pendapat bahwasanya riya’ tersebut tidak membahayakannya.
Keempat, ada kalanya amal tersebut diawali dengan niat karena Allah namun dicampuri riya’ yang pelakunya tidak mencegahnya sehimgga riya’ tersebut terus-menerus ada dalam hati maka para ulama’ berbeda pendapat. Apakah amalnya batal atau tidak.
Sekali lagi,memposisikan diri melakukan perbuatan dengan benar-benar ikhlas semata-mata karena Allah adalah sangatlah sulit bagi sebagian besar dari kita. Namun bukan tidak mungkin kita bisa melakukan amal yang tanpa riya’ yakni ikhlas lillahi ta’ala. Merekalah yang dijamin tidak goyah ketika mendapat godaan dari syetan laknatullahu alaihim. Terkadang kita sadar akan adanya riya’ tetapi seringnya kita tak menyadarinya, bahkan menikmati adanya riya’ tersebut. Oleh karena itu, senantiasalah kita memperbaiki niat dalam hati agar amal kita selalu kita tujukan untuk Allah semata. Rabalah hati kita , sedang berada di posisi manakah dari yang disebutkan oleh Ibnu Rojab di atas? Apakah kita masih memperjuangkan eksistensi diri di tengah perjuangan menata hati menuju keihlasan sejati?